Selamat Datang

(Wilujeung Sumping)

Riungan Mahasiswa Sukabumi (RIMASI) adalah sebuah wadah bagi para mahasiswa sukabumi yang sedang kuliah di daerah jakarta, untuk mempererat tali silaturahmi dan saling berbagi dalam berbagi hal tentang masalah-masalah yang ada di sukabumi maupun yang bersangkutan tentang mahasiswa yang sedang belajar di berbagai universitas yang ada di daerah jakarta



Rabu, 23 Mei 2012

Menempa Kepemimpinan Pemuda Sunda: Berkaca Dari Carita Pantun



Oleh Abdullah Alawi[1]
Beberapa hari lalu, kita telah memperingati hari Sumpah Pemuda yang sangat krusial pada zamannya. Sumpah ini kemudian menghasilkan tiga rumusan yang kemudian dikenal dengan sumpah pemuda, yaitu berbahasa satu, bahasa Indonesia, berbangsa satu, bangsa Indonesia, dan bertanah air satu, tanah air Indonesia. Sejarah membuktikan, bahwa Sumpah Pemuda sebagai tonggak perjuangan pergerakan kemerdekaan secara nasional. Sebelumnya, perjuangan bersiafat kedaerahan, riak pergerakan yang mudah ditekuk Belanda.
Namun, setelah 80 tahun Sumpah Pemuda, negara ini, setidaknya menurut Yudi Latif, seolah ada keluhan panjang tentang kemacetan regenerasi kepemiminan di tingkat nasional, seolah-olah bangsa kita bukan lagi tempat persemaian yang subur bagi perkembangan talenta-telenta muda.
Yudi kemudian melanjutkan, Indonesia harus mengalami kembali sutu proses “creatif destruction”, lewat kepemimpinan kaum muda. Kaum muda dituntut merobohkan kelaziman politik yang merasionalisasikan kepentingan individual untuk dibayar oleh irasionalitas kehidupan kolektif. Politik harus kembali ditempatkan sebagai usaha resolusi atas problem-problem kolektif dengan pemenuhan kebijakan kolektif. Hanya dengan memuliakan potensi kreatif pemudalah, Indonesia bisa meraih kembali marwah kehormatannya di pentas dunia.
Dari pernyataan tersebut, timbul pertanyaan bagaimana regenerasi pemuda dalam budaya Sunda?
Saya tidak berkompeten dalam menjawab pertanyaan berat ini. Tapi setidaknya, hal ini bisa dicari dari khazanah kebudayaan Sunda sendiri. Salah satunya bersumber dalam carita pantun Sunda. Meski hal ini hal ini sudah lewat dan terlupakan, dan oleh sebagian orang Sunda sendiri dianggap sebagai hal yang tidak perlu. Hal ini wajar, karena memang carita pantun bukan sejarah faktual menurut sejarah konvensional, tapi lebih kepada etika, yaitu ajaran mengenai apa yang sepantasnya dan sebaiknya dipakai seseorang dalam cara pandang nenek moyang kita. Dan anak cucunya, kita mengkajinya.
 Menurut Bambang Q. Anees, jika kita menelusur naskah-naskah Sunda Buhun, kita akan menemukan peran pemuda. Kita akan menemukan sosok Guru Minda dalam Wawacan Lutung Kasarung, Sangkuriang, Ciung Wanara, Mundinglaya Dikusumah, dan Guru Gantangn, dan lain-lain.
Dalam hal ini, penulis akan mengambil contoh dua carita pantun, yaitu sosok Guru Minda dalam Wawacan Lutung Kasarung, dan Mundinglaya Dikusumah dalam Wawacan Mundinglaya Dikusumah.

Penempaan Pemuda dalam Dua Carita Pantun
Cerita pantun atau lakon pantun, yaitu ceita yang biasa dilakonkan oleh jurupantun dalam pergelaran ruatan (ritual) yang disebut mantun. Di dalam pergelaran pantun ada bagian yang diceritakan, dan ada bagian yang ditembangkan sambil diiringi petikan kecapi. Cerita pantun lahir sebelum abad ke- 14 karena dalam Cerita Pantun Ciung Wanara dikisahkan Kerajaan Galuh dan dalam Cerita Pantun Lutung Kasarung dikisahkan Kerajaan Pasir Batang. Kedua kerajaan tersebut jauh telah hadir sebelum Kerajaan Pajajaran berdiri. Bukti tertulis adanya cerita pantun adalah Naskah Sanghyang Siksa Kanda Ng Karesian (1440 Saka, 1518 Masehi).
Di dalam naskah tersebut dijelaskan ada empat judul cerita pantun, yaitu Langgalarang, Banyakcatra, Siliwangi, dan Haturwangi. Struktur atau susunan cerita pantun itu terdiri atas rajah, ada bagian yang diceritakan, ada bagian yang didialogkan, dan ada bagian yang ditembangkan. Cerita pantun diawali oleh rajah pembuka --- mangkat cerita --- mendeskripsikan kerajaan dan tokoh-tokoh sentral yang dilakonkan --- ditutup oleh rajah penutup atau rajah pamunah.
Dalam tulisan ini, penulis memilih dua sosok pemuda dalam carita pantun Lutung Kasarung dan Mundinglaya Dikusumah. Berikut ringkasan kedua carita pantun tersebut:
Carita pantun Lutung Kasarung (artinya Lutung yang Tersesat) adalah cerita pantun yang mengisahkan legenda masyarakat Sunda tentang perjalanan Sanghyang Guruminda dari Kahyangan yang diturunkan ke Buana Panca Tengah (Bumi) dalam wujud seekor lutung (sejenis monyet). Dalam perjalanannya di Bumi, sang lutung bertemu dengan putri Purbasari Ayuwangi yang diusir oleh saudaranya yang pendengki, Purbararang. Lutung Kasarung adalah seekor mahkluk yang buruk rupa. Pada akhirnya ia berubah menjadi pangeran dan mengawini Purbasari, dan mereka memerintah Kerajaan Pasir Batang dan Kerajaan Cupu Mandala Ayu bersama-sama.
Sedangkan carita pantun “Mundinglaya Dikusumah mengisahkan perjalanan pemuda Mundinglaya untuk mengambil jimat layang salaka domas, yang diperlukan untuk mencegah negara dari kehancuran akibat malapetaka. Dengan berserah diri kepada Tuhan yang Maha Kuasa, sang pangeran pergi melewati berbagai hutan lebat untuk menemukan Jabaning Langit dan bertemu dengan para guriang. Dalam perjalanan, pangeran Mundinglaya melewati kerajaan kecil Muara Beres (atau Tanjung Barat) yang merupakan bawahan dari Pajajaran. Disana pangeran Mundinglaya bertemu dan jatuh hati dengan putri kerajaan yang bernama Dewi Kania atau Dewi Kinawati. Perjalanan pun dilanjutkan, tapi dia mesti menghadapi hambatan raksasa Janggrang Kalapitung. Tapi akhirnya, Mundinglaya bisa membawa jimat layang salaka domas. Kemudian dia menjadi pemimpin menggantikan ayahnya.  
Karya sastra lama mengandung berbagai pelajaran, petuah, dan nilai-nilai yang masih relevan dengan kehidupan masa kini. Salah satu nilai yang terkandung dalam naskah-naskah kuno tersebut adalah nilai kepemimpinan. Dalam kedua carita pantun ini terlihat ada kekacauan dan ketidakadilan. Di pantun Lutung Kasarung, ada ketidakadilan di negara Pasir Batang yaitu, Purbasari sebagai pemegang tahta direbut semena-mena oleh Purbararang. Sedangkan dalam Mundinglaya Dikusumah ada kekacauan di negeri Pajajaran.
Dalam situasi seperti ini, tampilah sosok pemuda yang sedang mangkat birahi, yaitu Guru Minda yang menyukai perempuan mirip ibunya. Dan Mundinglaya Dikusumah yang menyukai Dewi Kania atau Dewi Kinawati. Perasaan suka ini tertunda disebabkan menjalankan tugas. Akan tetapi, keduanya harus mengalami penderitaan. Guru Minda harus berubah terlebih dahulu menjadi lutung, sedangkan Mundinglaya harus bertempur Janggrang Kalapitung. Kemudian di ujung cerita kedua oang pemuda ini bisa menjalankan tugas dan mencapai impiannya, kemudian menjadi pemimpin yang adil makmur gemah ripah.
Dari dua carita pantun ini, terlihat bahwa calon-calon pemimpin itu mesti ditempa dengan berbagai perjalanan cobaan yang berbahaya, penderitaan, perlakuan tidak adil, dan lain-lain. Dalam perjalanan ini sosok pemuda bisa mengasah daya pikir dan pengalaman yang kelak akan berguna. Di samping itu, sosok orang tua adalah memberi kepercayaan, penunjuk dan pendukung. Dalam Lutung Kasarung, Sunan Ambu memberikan petunjuk bahwa perempuan yang dicari Guru Minda ada di Pasir Batang. Sedangkan dalam Mundinglaya Dikusumah, memperlihatkan sosok orang tua yang memberi kepercayaan penuh pada pemuda. Terakhir, memohon pertolongan padaYang Maha Kuasa, tempat manusia bersimpuh berserah diri.
Dengan berkaca terhadap sosok pemuda pada carita pantun ini, sepertinya bangsa Indonesia, khususnya Sunda, yang menurut Yudi bermasalah dalam regenerasi, tentu bisa diatasi.   

Bahan Bacaan:
Majalah Biografi Politik, for Democracy and Change, edisi spesial akhir 2008
Bambang Q. Anees, Yang Muda Yang Nyunda
Jacob Sumardjo, Hermeneutika Sunda; Simbol-simbol Babad Pakuan/Guru Gantangan
Ayip Rosyidi, dkk., Ensiklopedi Sunda



[1] Seuweu Sukabumi, mantan ketua umum RIMASI Jakarta 2005-2006 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar