"diskusi SAMAK"
Wacana awal:
Modernisasi diartikan sebagai perubahan-perubahan masyarakat yang bergerak dari keadaan yang tradisional atau dari masyarakat
pra-modern menuju kepada suatu masyarakat yang modern. Pengertian modernisasi
berdasar pendapat para ahli adalah sebagai berikut.
Widjojo Nitisastro, modernisasi adalah suatu transformasi total dari kehidupan bersama yang tradisional atau pra-modern dalam arti
teknologi serta organisasi sosial, ke arah pola-pola ekonomis dan politis.
Soerjono Soekanto, modernisasi adalah suatu bentuk dari perubahan sosial yang terarah yang didasarkan pada suatu perencanaan yang biasanya
dinamakan social planning. (dalam buku Sosiologi: suatu pengantar)
Dengan dasar pengertian di atas maka secara garis
besar istilah modern mencakup pengertian sebagai berikut.
a. Modern berarti berkemajuan yang rasional dalam segala bidang dan meningkatnya
taraf penghidupan masyarakat secara menyeluruh dan merata.
b.
Modern berarti berkemanusiaan dan tinggi nilai peradabannya
Dampak Positif
a. Perubahan Tata Nilai dan Sikap; Adanya modernisasi dan globalisasi dalam budaya menyebabkan pergeseran nilai dan
sikap masyarakat yang semula irasional menjadi rasional.
b. Berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi
Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan
teknologi masyarakat menjadi lebih mudah dalam beraktivitas dan mendorong untuk
berpikir lebih maju.
c. Tingkat Kehidupan yang lebih Baik; Dibukanya
industri yang memproduksi alat-alat komunikasi dan transportasi yang canggih
merupakan salah satu usaha mengurangi penggangguran dan meningkatkan
taraf hidup masyarakat.
Dampak Negatif
a. Pola Hidup Konsumtif; Perkembangan industri yang
pesat membuat penyediaan barang kebutuhan masyarakat melimpah. Dengan begitu
masyarakat mudah tertarik untuk mengonsumsi barang dengan banyak pilihan yang
ada.
b. Sikap Individualistik; Masyarakat merasa
dimudahkan dengan teknologi maju membuat mereka merasa tidak lagi
membutuhkan orang lain dalam beraktivitasnya. Kadang mereka lupa bahwa
mereka adalah makhluk sosial.
c. Gaya Hidup Kebarat-baratan; Tidak semua budaya
Barat baik dan cocok diterapkan di Indonesia. Budaya negatif yang mulai
menggeser budaya asli adalah anak tidak lagi hormat kepada
orang tua, kehidupan bebas remaja, dan
lain-lain.
d. Kesenjangan Sosial; Apabila dalam suatu
komunitas masyarakat hanya
ada beberapa individu yang dapat mengikuti arus modernisasi dan globalisasi maka akan memperdalam jurang pemisah antara
individu dengan individu lain yang stagnan. Hal ini menimbulkan
kesenjangan sosial.
wacana kedua:
Untuk
lebih spesifik lagi membahas masalah modernisasi, maka kita akan mengungkap
kembali pemahaman cendikiawan muslim yang mengusung gerakan Neo-Modenisme,
yang barang kali masalah ini sudah lama terdengar oleh kita.
(Dalam buku Muhammad Azhar. Fiqh Kontemporer
Dalam Pandangan Neo-modernisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.1996) dikatakan
bahwa Latar Belakang Munculnya Aliran Neo Modernisme Islam yaitu : dilatarbelakangi oleh beberapa
perkembangan pemikiran Islam sebelumnya[1]. Kiranya Ada tiga gerakan pemikiran yakni;
1.
Gerakan Revivalisme
Pramodernis. Muncul pada abad ke 18 dan 19
di Arabia, India dan Afrika. Gerakan
yang tidak terkena sentuhan Barat ini memperlihatkan ciri-ciri umum:
a.
keprihatinan yang mendalam terhadap de-generasi sosio-moral
umat Islam dan usaha untuk mengubahnya.
b.
himbauan untuk kembali pada Islam sejati dan mengenyahkan
tahayul- tahayul yang ditanamkan oleh
bentuk-bentuk sufisme popular
c.
himbauan untuk meleksanakan pembaharuan ini lewat kekuatan
bersenjata (jihad) jika perlu
2.
Gerakan
Modernisme Klasik, yang muncul pada pertengahan abad
ke-19 dan awal abad ke-20 dibawah pengaruh ide-ide barat. Pada periode ini
merupakan perluasan terhadap isi ijtihad, yang menurut Rahman merupakan suatu
prestasi besar yang tidak bersifat artifisial atau terpaksa. Jadi pada hakekatnya penafsiran pada gerakan ini
didasarkan pada al-Quan dan “sunnah historis” (biografi nabi) beda dengan
“sunnah tekhnis” (yang ada dalam hadits-hadits), yang mana dikaitkannya dengan
pranata-pranata barat dengan tradisi Islam melalui sumber-sumber teresebut.
3. Gerakan Neorevivalisme, yang mendasarkan pemikirannya pada basis pemikiran
modernisme klasik bahwa Islam itu mencakup segala aspek kehidupan manusia, baik
individu maupun kolektif. Akan tetapi hal itu hanya reaksi sesaat saja terhadap
modernism klasik mereka tidak menerima metodenya bahkan mereka tidak mampu
mengembangkan metodologi apapun untuk menegaskan posisinya, selain membedakan
Islam dari barat.
Maka dari pengaruh gerakan ini munculah gerakan selanjutnya
yaitu:
Gerakan Noemodernisme,
yang kelanjutan dari gerakan
neorevivalisme yang mana gerakan ini mengusung sikap harus kritis terhadap
pemikiran barat maupun terhadap warisan-warisan kesejahteraan sendiri. Umat
Islam harus mampu mengkaji terhadap gagasan-gagasan maupun ajaran-ajaran dalam
sejarah keagamaannya sendiri. Apabila tidak , maka tidak akan berhasil dalam
menghadapi kelangsungan hidup sebagai muslim dengan adanya tuntutan zaman
modern yang begitu berkembang pesat.
Adapun gerakan ini yang (dipelopori
oleh prof. Dr. Fazlur Rahman) yang mana
beliau sebagai cendikiawan muslim yang kritis terhadap masalah-masalah
kelangsungan dan kesejahteraan kehidupan manusia sebagai umat muslim dalam
menghadapi era globalisasi atau di zaman modern ini. Beliau menyatakan ketidakpuasannya
beliau terhadap mutu pendidikan tinggi Islam di negeri-negeri Muslim. Penomena
itu terbukti dengan kritisismenya beliau yang pedas terhadap lembaga-lembaga
tersebut tentang al-Azhar di Mesir, misalnya; ia mengemukakan bahwa lembaga
pendidikan itu dalam kenyataannya “mewakili sosok akhir pemikiran Islam abad
pertengahan dengan beberapa modifikasi baru dan kecil-kecilan serta posisi
intelektual spiritualnya tetap statis”.
Kemudian pula dengan pemikirannya
seperti; Pandangan Rahman tentang al-Qur’an memang cukup kontroversial.
Rahman manyatakan dalam karyanya, Islam, “Al-Qur’an itu adalah kalam
Allah. Kemudian dalam pengertian biasa—juga seluruhnya adalah perkataan
Muhammad”. Pandangan yang tidak biasa dalam masyarakatnya ini kontan
mendapat serangan sengit dari kaum ortodoks dan fundmentalis di Pakistan. Namun
yang perlu dipahami di sini adalah apa sebenarnya yang dimaksud Rahman dengan “dalam
pengertian biasa—juga seluruhnya adalah perkataan Muhammad”. Pernyataan
Rahman ini bisa kita pahami ketika kita melihat bahwa al-Qur’an adalah Kalam
Tuhan yang abadi, tidak bermula dan berakhir. Maka dari sini kita melihat
bahwa keabadian dan ketakbermulaan ini sifatnya adalah transendental, bukan
mewujud dalam dunia fisik. Karena dalam tradisi ilmu kalam, sesuatu yang
berwujud fisik tidaklah abadi. Rahman memandang bahwa dalam konteks al-Qur’an
yang berada di sisi Allahlah yang benar-benar abadi, tidak terikat oleh ruang
dan waktu. Sementara ketika al-Qur’an tersebut disampaikan kepada Umat
manusia oleh Nabi Muhammad, maka al-Qur’an itu juga seluruhnya adalah perkataan
Muhammad. Karena bahasa Arab adalah produk budaya, secara otomatis “bahasa”
al-Qur’an tersebut adalah bahasa yang dimengerti oleh Muhammad ketika al-Qur’an
tersebut hendak disampaikan kepada kaumnya. Bagi Rahman, wahyu adalah semacam
ide yang masuk secara tiba-tiba ke dalam benak Muhammad. Ia hanya merupakan
sebuah gagasan yang jelas, dan kemudian Nabi Muhammad menjadi “kepanjangan
tangan” dari ide tersebut. Pemikiran Rahman yang demikian itu, sebagaimana
dikemukakan di muka, tentu saja langsung mendapat kritikan tajam dari para
penganut Islam yang telah mapan. Karena dalam pandangan tradisional, al-Qur’an
adalah dari Allah, lafadz sekaligus maknanya.
Barangkali itulah sekilas tentang pemikiran Fazlur Rahman, yang apabila
dikaitkan dengan era zaman sekarang ini akan sangat dekat sekali pengertiannya
dan pengaruhnya terhadap kehidupan kita, apalagi dengan adanya kata “globalisasi
atau modernisasi” yang dalam benak kita terpikir bahwa fenomena tersebut memunculkan
adanya rasa bingung untuk kita renungkan dan realisasikan dengan
mempertimbangkan budaya, adat istiadat, tradisi, politik, ekonomi kita (Indonesia)
dan hal-hal lain sebagainya.
Maka, Kemudian dari permasalahan
tersebut, seperti apakah tanggapan kita dan harus bagaimanakah sikap kita dalam
menghadapi era tersebut sekarang ini?
[1] Muhammad Azhar. Fiqh Kontemporer Dalam
Pandangan Neomodernisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.1996
Tidak ada komentar:
Posting Komentar