Beberapa hari lalu, kita telah
memperingati hari Sumpah Pemuda yang sangat krusial pada zamannya. Sumpah ini
kemudian menghasilkan tiga rumusan yang kemudian dikenal dengan sumpah pemuda,
yaitu berbahasa satu, bahasa Indonesia, berbangsa satu, bangsa Indonesia, dan
bertanah air satu, tanah air Indonesia. Sejarah membuktikan, bahwa Sumpah
Pemuda sebagai tonggak perjuangan pergerakan kemerdekaan secara nasional.
Sebelumnya, perjuangan bersiafat kedaerahan, riak pergerakan yang mudah ditekuk
Belanda.
Namun, setelah 80 tahun Sumpah Pemuda,
negara ini, setidaknya menurut Yudi Latif, seolah ada keluhan panjang tentang
kemacetan regenerasi kepemiminan di tingkat nasional, seolah-olah bangsa kita bukan
lagi tempat persemaian yang subur bagi perkembangan talenta-telenta muda.
Yudi kemudian melanjutkan, Indonesia
harus mengalami kembali sutu proses “creatif destruction”, lewat
kepemimpinan kaum muda. Kaum muda dituntut merobohkan kelaziman politik yang
merasionalisasikan kepentingan individual untuk dibayar oleh irasionalitas
kehidupan kolektif. Politik harus kembali ditempatkan sebagai usaha resolusi atas
problem-problem kolektif dengan pemenuhan kebijakan kolektif. Hanya dengan
memuliakan potensi kreatif pemudalah, Indonesia bisa meraih kembali marwah
kehormatannya di pentas dunia.
Dari pernyataan tersebut, timbul pertanyaan
bagaimana regenerasi pemuda dalam budaya Sunda?
Saya tidak berkompeten dalam
menjawab pertanyaan berat ini. Tapi setidaknya, hal ini bisa dicari dari
khazanah kebudayaan Sunda sendiri. Salah satunya bersumber dalam carita pantun
Sunda. Meski hal ini hal ini sudah lewat dan terlupakan, dan oleh sebagian orang
Sunda sendiri dianggap sebagai hal yang tidak perlu. Hal ini wajar, karena
memang carita pantun bukan sejarah faktual menurut sejarah konvensional,
tapi lebih kepada etika, yaitu ajaran mengenai apa yang sepantasnya dan
sebaiknya dipakai seseorang dalam cara pandang nenek moyang kita. Dan anak cucunya, kita
mengkajinya.
Menurut Bambang Q. Anees, jika kita
menelusur naskah-naskah Sunda Buhun, kita akan menemukan peran pemuda. Kita
akan menemukan sosok Guru Minda dalam Wawacan Lutung Kasarung, Sangkuriang,
Ciung Wanara, Mundinglaya Dikusumah, dan Guru Gantangn, dan lain-lain.
Dalam hal ini, penulis
akan mengambil contoh dua carita pantun, yaitu
sosok Guru Minda dalam Wawacan Lutung Kasarung, dan Mundinglaya
Dikusumah dalam Wawacan
Mundinglaya Dikusumah.
Penempaan Pemuda dalam Dua Carita Pantun
Cerita
pantun atau lakon pantun, yaitu ceita yang biasa dilakonkan oleh jurupantun
dalam pergelaran ruatan (ritual) yang disebut mantun. Di dalam
pergelaran pantun ada bagian yang diceritakan, dan ada bagian yang ditembangkan
sambil diiringi petikan kecapi. Cerita pantun lahir sebelum abad ke- 14 karena
dalam Cerita Pantun Ciung Wanara dikisahkan Kerajaan Galuh dan dalam Cerita
Pantun Lutung Kasarung dikisahkan Kerajaan Pasir Batang. Kedua kerajaan
tersebut jauh telah hadir sebelum Kerajaan Pajajaran berdiri. Bukti tertulis
adanya cerita pantun adalah Naskah Sanghyang Siksa Kanda Ng Karesian (1440
Saka, 1518 Masehi).
Di dalam
naskah tersebut dijelaskan ada empat judul cerita pantun, yaitu Langgalarang,
Banyakcatra, Siliwangi, dan Haturwangi. Struktur atau susunan cerita
pantun itu terdiri atas rajah, ada bagian yang diceritakan, ada bagian
yang didialogkan, dan ada bagian yang ditembangkan. Cerita pantun diawali oleh
rajah pembuka --- mangkat cerita --- mendeskripsikan kerajaan dan tokoh-tokoh
sentral yang dilakonkan --- ditutup oleh rajah penutup atau rajah pamunah.
Dalam tulisan ini, penulis memilih dua
sosok pemuda dalam carita pantun Lutung Kasarung dan Mundinglaya Dikusumah.
Berikut ringkasan kedua carita pantun tersebut:
Carita pantun Lutung Kasarung (artinya Lutung yang Tersesat) adalah cerita pantun yang
mengisahkan legenda masyarakat
Sunda tentang perjalanan Sanghyang Guruminda dari Kahyangan yang
diturunkan ke Buana Panca Tengah (Bumi) dalam wujud
seekor lutung
(sejenis monyet).
Dalam perjalanannya di Bumi, sang lutung bertemu dengan putri Purbasari
Ayuwangi yang diusir oleh saudaranya yang pendengki, Purbararang. Lutung
Kasarung adalah seekor mahkluk yang buruk rupa. Pada akhirnya ia berubah
menjadi pangeran dan mengawini Purbasari, dan mereka memerintah Kerajaan Pasir
Batang dan Kerajaan Cupu Mandala Ayu bersama-sama.
Sedangkan carita pantun “Mundinglaya Dikusumah mengisahkan perjalanan
pemuda Mundinglaya untuk mengambil jimat layang salaka domas, yang
diperlukan untuk mencegah negara dari kehancuran akibat malapetaka. Dengan
berserah diri kepada Tuhan yang Maha Kuasa, sang pangeran pergi melewati
berbagai hutan lebat untuk menemukan Jabaning Langit dan bertemu dengan para guriang.
Dalam perjalanan, pangeran Mundinglaya melewati kerajaan kecil Muara Beres
(atau Tanjung Barat) yang merupakan bawahan dari Pajajaran. Disana pangeran
Mundinglaya bertemu dan jatuh hati dengan putri kerajaan yang bernama Dewi
Kania atau Dewi Kinawati. Perjalanan pun dilanjutkan, tapi dia mesti menghadapi
hambatan raksasa Janggrang Kalapitung. Tapi akhirnya, Mundinglaya bisa
membawa jimat layang salaka domas. Kemudian dia menjadi pemimpin menggantikan ayahnya.
Karya sastra
lama mengandung berbagai pelajaran, petuah, dan nilai-nilai yang masih relevan
dengan kehidupan masa kini. Salah satu nilai yang terkandung dalam
naskah-naskah kuno tersebut adalah nilai kepemimpinan. Dalam
kedua carita pantun ini terlihat ada kekacauan dan ketidakadilan. Di pantun
Lutung Kasarung, ada ketidakadilan di negara Pasir Batang yaitu, Purbasari sebagai
pemegang tahta direbut semena-mena oleh Purbararang. Sedangkan dalam Mundinglaya
Dikusumah ada kekacauan di negeri Pajajaran.
Dalam
situasi seperti ini, tampilah sosok pemuda yang sedang mangkat birahi,
yaitu Guru Minda yang menyukai perempuan mirip ibunya. Dan Mundinglaya Dikusumah
yang menyukai Dewi Kania atau Dewi Kinawati. Perasaan suka
ini tertunda disebabkan menjalankan tugas. Akan tetapi, keduanya
harus mengalami penderitaan. Guru Minda harus berubah terlebih dahulu menjadi lutung, sedangkan
Mundinglaya harus bertempur Janggrang Kalapitung. Kemudian di ujung cerita
kedua oang pemuda ini bisa menjalankan tugas dan mencapai impiannya, kemudian menjadi pemimpin
yang adil makmur gemah ripah.
Dari dua
carita pantun ini, terlihat bahwa calon-calon pemimpin itu mesti ditempa dengan
berbagai perjalanan cobaan yang berbahaya, penderitaan, perlakuan tidak adil, dan lain-lain. Dalam
perjalanan ini sosok pemuda bisa mengasah daya pikir dan pengalaman yang kelak
akan berguna. Di samping itu, sosok orang tua adalah memberi kepercayaan,
penunjuk dan pendukung. Dalam Lutung Kasarung, Sunan Ambu memberikan petunjuk
bahwa perempuan yang dicari Guru Minda ada di Pasir Batang. Sedangkan dalam Mundinglaya
Dikusumah, memperlihatkan sosok orang tua yang memberi kepercayaan penuh pada
pemuda. Terakhir, memohon pertolongan padaYang Maha Kuasa, tempat manusia
bersimpuh berserah diri.
Dengan berkaca terhadap sosok
pemuda pada carita pantun ini, sepertinya bangsa Indonesia, khususnya
Sunda, yang menurut Yudi bermasalah dalam regenerasi, tentu bisa diatasi.
Bahan Bacaan:
Majalah Biografi Politik, for
Democracy and Change, edisi spesial akhir 2008
Bambang Q. Anees, Yang Muda
Yang Nyunda
Jacob Sumardjo, Hermeneutika
Sunda; Simbol-simbol Babad Pakuan/Guru Gantangan
Ayip Rosyidi, dkk.,
Ensiklopedi Sunda